GAGASAN:
SOLOPOS, 5 Februari 2013
R. AGUS TRIHATMOKO, SE. MBA. MM |
Sejak pertengahan tahun lalu ternak
sapi mulai diminati petani karena mereka melihat adanya peluang keuntungan.
Terlebih pada tiga bulan terakhir ini harga jual ternak sapi relatif mahal yang
dipicu oleh krisis daging sapi. Harga daging sapi telah menembus Rp 95.000 per
kg atau naik 25% dari rata-rata harga pasar sebelumnya.
Tingginya harga daging sapi mulai dirasakan konsumen setelah Idul Adha Oktober 2012 dan setelah Natal 2012 serta Tahun Baru 2013 hingga saat ini. Akhibat situasi ini pihak petani peternak sapi diuntungkan, sedangkan pihak konsumen daging sapi merasa terbebani. Namun, sebagai konsumen jangan ada iri hati dan menunduh bahwa petani untung besar karena mereka telah membeli bakalan sapi dengan harga relatif mahal.
Hanya beberapa petani yang memiliki
sisa uang yang mampu membeli seekor bakalan sapi sehingga pada tahun ini
produksi sapi tetap tidak mencukupi kebutuhan nasional. Dalam menghadapi
mahalnya harga daging sapi, konsumen tidak perlu kawatir karena pemerintah
pasti mengambil kebijakan populer yaitu dengan kebijakan impor daging sapi.
Kebijakan ini diambil sebagai
intervensi dan normalisasi pasar agar harga daging sapi tidak mengalami gejolak
dan memicu inflasi barang lainnya. Namun, jika itu terus dilakukan artinya
bangsa ini selalu melupakan kehidupan petani. Petani peternak sapi akan terkena
imbas kerugian ketika nanti menjual hasil ternak mereka. Imbas kerugian petani
disebabkan harga sapi di pasar tidak memiliki nilai lebih dibanding dengan
harga beli bakalan sapi dan biaya pemeliharaan.
Mengapa pemerintah seakan tutup mata
terhadap resiko petani atas kebijakan impor ini? Bagaimana strategi manajemen
impor yang tepat untuk mendukung jutaan petani sebagai produsen daging sapi?
Pertanyaan tersebut akan mudah dijawab jika pemerintah secara jujur berpihak
kepada kepentingan petani peternak sapi dan konsumen daging sapi. Namun, akan
sulit dan rumit jika di sana ada pihak-pihak yang bermain secara poilitik
materialistis untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Sulit dan rumitnya masalah daging
sapi kini terkuak secara tragis dan menyedihkan bagi bangsa ini. Ternyata
pengambil kebijakan impor daging sapi terlibat tindak korupsi. Anggota DPR yang
menyetujui kebijakan pemerintah telah menerima suap dari importir daging sapi. Nilai
suap yang tertangkap tangan memang hanya Rp 1 miliar, namun temuan KPK
mengindikasi ada dugaan commitment fee hingga
puluhan miliar rupiah.
Petani/peternak boleh saja menduga
bahwa DPR dan pemerintah selama ini sengaja membiaran kebijakan impor daging sapi dan
hasil pertanian lainnya karena di sana ada pihak yang diuntungkan dalam bisnis
yang kotor dan korup. Kementerian Pertanian membela diri bahwa proyek mengimpor
daging sapi sudah sesuai prosedur. Selanjutnya menyatakan bahwa Indonesia tahun
2013 tidak akan menambah kuota impor daging sapi.
Pembelaan dan peryataan tersebut
menunjukan bahwa impor daging sapi tetap diizinkan untuk berlanjut. Jadi,
jangan harap ada kebijakan pemerintah di 2013 ini yang berpihak kepada petani. Kebijakan
yang ada tentu mencederai hidup petani peternak sapi. Jangan pernah berfikir
bangsa ini akan menjadi bangsa yang produktif jika pemerintah tidak mau mengubah
strategi manajemen impor dari mengimpor barang konsumsi menjadi mengimpor
barang produksi.
Untuk mengubah strategi manajemen
impor barang produksi yaitu dengan mengimpor bakalan sapi dan indukan sapi,
bukan impor daging sapi. Bakalan sapi dan indukan sapi akan menghasilkan nilai
tambah secara ekonomi yang dihasilkan dari proses penggemukan dan
pengembangbiakan. Kuantitas import dapat diprediksi dengan menghitung dari
selisih akumulasi kebutuhan konsumsi daging sapi dan ketersedian ternak sapi
nasional.
Proyek ini jika dilakukan secara berkesinambungan
selama satu tahun maka pada tahun berikutnya diprediksi tidak perlu mengimpor
daging sapi. Bahkan, impor bakalan sapi akan semakin menurun karena indukan
sapi telah memijahkan bakalan sapi di dalam negeri. Syaratnya, pejabat pengambil
kebijakan harus bermain bersih, transparan dan tidak korup. Jangan ada importir
yang mengeluarkan biaya suap kepada pejabat dan pungutan liar lainnya. Jika itu
tetap terjadi, biaya tersebut akan membebani harga beli petani atas sapi impor
tersebut.
Dalam pelaksanaannya Kementerian
Pertanian beserta jajarannya harus memimpin langsung distribusi bakalan sapi
dan indukan sapi hingga ke tangan petani peternak yang tepat. Manajemen
distribusi perlu mempertimbangkan keseimbangan pasar dan potensi daerah petani peternak
sapi. Keseimbangan dengan mengukur pangsa pasar daging sapi di setiap daerah
dan menghitung jumlah populasi sapi.
Hal ini penting mengingat Indonesia
punya kondisi geografis pasar yang berjauhan antarpropvinsi dengan tingkat
kepadatan penduduk yang berbeda. Dengan melakukan manajemen distribusi yang
tepat maka efesiensi juga terjadi ketika petani memasarkan sapi potong. Distribusi
juga harus menyentuh unsur pemerataan keadilan bagi petani miskin dan buruh
tani.
Kebijakan Moneter
Bagi petani miskin dan buruh tani
yang tidak mampu membeli secara tunai sapi impor perlu kebijakan moneter yaitu
pemberian kredit dengan tingkat suku bunga rendah. Subsidi bunga kredit ini
sebagai bentuk pembelaan pemerintah kepada rakyat miskin agar mereka bekerja secara
produktif menuju hidup yang layak.
Perubahan strategi manajemen impor
seperti ini dapat menunjukan bahwa pemerintah melindungi petani dan tidak mencederai
hidup mereka. Pengadaan bakalan sapi dan indukan sapi yang relatih murah dan
berkualitas sangat ditunggu petani. Jika pemerintah mau melakukan, pasar daging
sapi dalam jangka panjang akan stabil.
Stabilitas terjadi karena
ketersediaan sapi potong yang mencukupi pasar dalam negeri. Petani tetap untung
karena didukung oleh efesiensi biaya produksi dari sumber alam yang ada. Sumber alam itu
misalnya jerami, bekatul, ampas kedelai, ampas ubi kayu dan daun jagung serta
rumput yang merupakan makanan utama sapi. Berlimpahnya sumber makanan utama
sapi ini diperoleh dari hasil produksi tanaman pangan tersebut.
Produksi tanaman pangan nasional sebesar
108 juta ton setahun (data BPS Tahun 2011) limbahnya dapat mencukupi makanan
ternak sapi. Efesiensi lain dari keberadaan ternak sapi yaitu mengurangi pupuk kimiawi bagi petani. Kotoran
sapi dapat dimanfatkan sebagai pupuk organik, sebagai penyubur tanaman pangan.
Pemerintah tidak perlu ragu lagi untuk
mengambil langkah strategis yaitu impor bakalan sapi dan indukan sapi karena
secara ekonomi makro akan memiliki dampak jauh lebih baik dari pada impor daging
sapi. Untuk memulai ini, hanya perlu kemauan politik dan kejujuran para pejabat
sebagai landasan bertindak. Dengan tindakan demikian maka Indonesia akan
mencapai swasembada daging sapi dan selanjutnya sangat berpeluang menjadi negara
pengekspor daging sapi, Semoga...!
*) Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Surakarta
dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Sebelas Maret.
No comments:
Post a Comment