Gagasan:
SOLOPOS>kolom Selasa, 31 Juli 2012 08:31 WIB
http://www.solopos.com/2012/07/31/mental-tempe-tata-kelola-kedelai-205915
Oleh:
R. Agus Trihatmoko (AGUSTRI)*
Orang yang minder sering dijuluki
memiliki mental tempe, pemain olah raga yang takut menghadapi lawan dianggap
bermental tempe, pemimpin organisasi yang tidak mampu mengelola organisasi
sering disebut berotak tempe. Tempe dijadikan julukan untuk menilai mental dan
otak seseorang karena tempe terlanjur diindentikan sebagai makanan masyarakat
kelas bawah. Perumpamaan tersebut memang salah kaprah, di mana menganggap orang
yang sering makan tempe intelejensinya tidak cerdas, padahal tempe memiliki
kandungan protein yang tinggi. Kelangkaan kedelai mengingatkan orang tentang
mental tempe, karena kedelai merupakan bahan baku tempe. Sungguh ironis bangsa
agraris kekurangan kedelai untuk membuat tempe.
Kekurangan kedelai merupakan cermin mental tempe para pemimpin negara dalam tata kelola pertanian dan kedelai. Para pemimpin negara baru bereaksi setelah para pembuat tempe berteriak tidak mampu memproduksi tempe. Jadi jangan marah kalau para petinggi negara ini disebut bermental tempe, karena tidak mampu mengelola kedelai.
Kekurangan kedelai merupakan cermin mental tempe para pemimpin negara dalam tata kelola pertanian dan kedelai. Para pemimpin negara baru bereaksi setelah para pembuat tempe berteriak tidak mampu memproduksi tempe. Jadi jangan marah kalau para petinggi negara ini disebut bermental tempe, karena tidak mampu mengelola kedelai.
Teori perilaku manusia dalam
organisasi atau HBO (human behavior
in organization) mengidentifikasi bahwa kehandalan seorang pemimpin bisa
dilihat ketika menghadapi masalah. Sikap pemimpin yang kemampuan manajerialnya
lemah, biasanya bereaksi seakan-akan baru tahu ada masalah, menyalahkan faktor
alamiah, bercerita ide baru yang tidak terarah dan melemparkan masalah ke pihak
yang lemah. Sedangkan sikap pemimpin
yang kemampuan manajerial handal, dalam menghadapi masalah mereka akan
mamaparkan dengan jelas tentang langkah yang telah dilakukan dan menunjukan
arah penyelesaian masalah. Mereka sering
menunjukan paparan masalah secara terukur dalam waktu dan hasil sesuai target yang
ingin di capai. Paparan berdasarkan data dan analisa mulai dari perencanaan hingga
pelaksanaan, disertai rencana tindakan yang akan dilakukan (action plan).
Gejolak kedelai mengudang pertanyaan,
sekuat apa taraf manajerial para pemimpin negara ini dalam mengelola kedelai?
Jawabannya sangat sederhana jika menggunakan analogi manajemen perilaku dalam
teori HBO.
Ketika para pelaku industri berbahan
kedelai berteriak dan melakukan mogok produksi, reaksi para pemimpin negara
jelas sekali menunjukan kelemahan manajerialnya. Tanpa menunjuk hidung takut
mereka tersinggung, rakyat yang makan tempe bisa membaca sikap mereka. Mereka
seakan baru tahu ada masalah kedelai dengan pernyataan “ketahanan pangan kita
harus diwaspadai”. Padahal mereka mengetahui kebutuhan nasional kedelai
rata-rata lima tahun terakhir sebanyak 2,4 juta ton per tahun sedangkan kemampuan
produksi kedelai hanya sebesar 0.8 juta
ton, artinya terjadi defisit 1,6 juta ton per tahun. Kekeringan di Amerika menjadi alasan alamiah
dan ini sekaligus menunjukan mental yang tidak mandiri karena harus tergantung kepada
kondisi pihak lain. Ide untuk segera mengatur tata niaga kedelai menunjukan
lambatnya mengatasi suatu masalah, karena defisit produksi kedelai sudah
berlangsung dalam kurun waktu lima tahun lebih. Petani yang tidak menanam
kedelai dijadikan alasan. Tawaran kredit usaha dari bank pemerintah kepada
pelaku industri berbahan kedelai menunjukan mental anarkis bisnis, karena akan
menjerat pengusaha kecil yang sedang sekarat. Akhirnya kebijakan instan dengan
pembebasan bea masuk kedelai menunjukan kekalahan telak dalam persaingan
komodite kedelai. Semua sikap, reaksi dan argumen seperti itu sebagai bentuk
mental yang tak berdaya dan lemah untuk berupaya.
Publik akan respek
terhadap situasi krisis kedelai ini jika para pemimpin negara menunjukan
kelasnya sebagai manajer handal. Kehandalan mereka bisa dilakukan dengan
pemaparan yang berkualitas. Misalnya: Sejak lima tahun terakhir produksi
nasional kedelai masih belum mencukupi kebutuhan nasional, tetapi upaya kita
telah membuahkan hasil. Dari tahun ke tahun angka produksi telah meningkat
secara signifikan, kecuali di tahun 2011 terjadi penurunan karena gagal panen
akhibat curah hujan tinggi. Upaya pemerintah saat ini untuk membantu para
petani berupa bantuan bibit unggul, subsidi pupuk dan pendampingan teknik
produksi oleh para ahli. Langkah ini akan terus dikembangkan dengan
optimalisasi lahan tidur yang berpotensi untuk ditanami kedelai. Apabila tidak
ada cuaca ektrem, pada tahun 2014 produksi nasional akan mencukupi kebutuhan
nasional. Selanjutnya pada tahun 2016 diperkirakan Indonesia akan mampu ekspor
kedelai ke negara lain. Tata niaga kedelai sudah mengatur tingkat harga yang wajar.
Bagi petani yang mengalami kendala silahkan datang dan berkoordinasi dengan
dinas pertanian setempat. Jika ada kekurangan bibit dan pupuk secepatnya
hubungi Koperasi Unit Desa (KUD) terdekat.
Pemaparan ini ternyata tidak terdengar satu pun dalam ucapan para
pemimpin negeri ini, kasihan mereka seperti tempe bungkus yang digoreng.
Hilangya bia masuk terbungkus untuk membantu industri tempe dan gurihnya dinikmati
oleh importir. Harga kedelai bisa turun, namun pemasukan negara ada yang hilang
dan puluhan trilyun devisa harus dikorbankan.
Cara handal tersebut bukan sesuatu
yang rumit dan sulit jika para pemimpin ada kemauan membangun swasembada
kedelai. Hitungan secara makro ekonomi bisa dikalkulasi antara penghematan
devisa dengan biaya dukungan (stimulisasi) kepada petani. Dampak makro ekonomi
secara positif akan terjadi jika kebutuhan nasional kedelai mampu diproduksi
oleh petani. Biaya distribusi kedelai akan efesien, keuntungan perdagangan
tidak terpusat pada pemodal besar saja karena di sentra pertanian kedelai akan
berkembang pedagang kedelai. Analisa dan perencanaan secara makro ekonomi ini
sederhana sekali tetapi harap maklum kalau mereka tidak memiliki perhitungan
untuk komodite kedelai kerena urusan komodite beras dan gula juga belum selesai.
Strategi manajemen untuk ketahanan pangan dikembalikan ke logika pekerjaan masyarakat
di setiap daerah. Di daerah yang memiliki lahan pertanian terbuka dan mayoritas
penduduknya adalah petani, pemerintah jangan tanggung-tanggung memberikan
stimulisasi kepada mereka. Selanjutnya lakukan pola manajemen koordinasi dari
tingkat kementrian sampai ke tingkat kelompok tani. Keberanian memulai berada
dipundak para pemangku jabatan tata kelola pangan dan kedelai, jadi kapan lagi
kalau tidak sekarang? Semoga mereka tidak
tertempel mental tempe, biarlah tempe gurih itu tetap nikmat di lidah rakyat.
*) Dosen
Manajemen FE Universitas Surakarta dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi
UNS.
No comments:
Post a Comment