Sunday, February 23, 2014

MENTAL TEMPE TATA KELOLA KEDELAI


Gagasan:
SOLOPOS>kolom                                                                                                   Selasa, 31 Juli 2012 08:31 WIB 
http://www.solopos.com/2012/07/31/mental-tempe-tata-kelola-kedelai-205915

Oleh:
R. Agus Trihatmoko  (AGUSTRI)*

            Orang yang minder sering dijuluki memiliki mental tempe, pemain olah raga yang takut menghadapi lawan dianggap bermental tempe, pemimpin organisasi yang tidak mampu mengelola organisasi sering disebut berotak tempe. Tempe dijadikan julukan untuk menilai mental dan otak seseorang karena tempe terlanjur diindentikan sebagai makanan masyarakat kelas bawah. Perumpamaan tersebut memang salah kaprah, di mana menganggap orang yang sering makan tempe intelejensinya tidak cerdas, padahal tempe memiliki kandungan protein yang tinggi. Kelangkaan kedelai mengingatkan orang tentang mental tempe, karena kedelai merupakan bahan baku tempe. Sungguh ironis bangsa agraris kekurangan kedelai untuk membuat tempe.
Kekurangan kedelai merupakan cermin mental tempe para pemimpin negara dalam tata kelola pertanian dan kedelai. Para pemimpin negara baru bereaksi setelah para pembuat tempe berteriak tidak mampu memproduksi tempe. Jadi jangan marah kalau para petinggi negara ini disebut bermental tempe, karena tidak mampu mengelola kedelai.
            Teori perilaku manusia dalam organisasi atau HBO (human behavior in organization) mengidentifikasi bahwa kehandalan seorang pemimpin bisa dilihat ketika menghadapi masalah. Sikap pemimpin yang kemampuan manajerialnya lemah, biasanya bereaksi seakan-akan baru tahu ada masalah, menyalahkan faktor alamiah, bercerita ide baru yang tidak terarah dan melemparkan masalah ke pihak yang lemah. Sedangkan sikap  pemimpin yang kemampuan manajerial handal, dalam menghadapi masalah mereka akan mamaparkan dengan jelas tentang langkah yang telah dilakukan dan menunjukan arah penyelesaian masalah.  Mereka sering menunjukan paparan masalah secara terukur dalam waktu dan hasil sesuai target yang ingin di capai. Paparan berdasarkan data dan analisa mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan, disertai rencana tindakan yang akan dilakukan (action plan). Gejolak kedelai  mengudang pertanyaan, sekuat apa taraf manajerial para pemimpin negara ini dalam mengelola kedelai? Jawabannya sangat sederhana jika menggunakan analogi manajemen perilaku dalam teori HBO.
            Ketika para pelaku industri berbahan kedelai berteriak dan melakukan mogok produksi, reaksi para pemimpin negara jelas sekali menunjukan kelemahan manajerialnya. Tanpa menunjuk hidung takut mereka tersinggung, rakyat yang makan tempe bisa membaca sikap mereka. Mereka seakan baru tahu ada masalah kedelai dengan pernyataan “ketahanan pangan kita harus diwaspadai”. Padahal mereka mengetahui kebutuhan nasional kedelai rata-rata lima tahun terakhir sebanyak 2,4 juta ton per tahun sedangkan kemampuan produksi kedelai hanya sebesar  0.8 juta ton, artinya terjadi defisit 1,6 juta ton per tahun.  Kekeringan di Amerika menjadi alasan alamiah dan ini sekaligus menunjukan mental yang tidak mandiri karena harus tergantung kepada kondisi pihak lain. Ide untuk segera mengatur tata niaga kedelai menunjukan lambatnya mengatasi suatu masalah, karena defisit produksi kedelai sudah berlangsung dalam kurun waktu lima tahun lebih. Petani yang tidak menanam kedelai dijadikan alasan. Tawaran kredit usaha dari bank pemerintah kepada pelaku industri berbahan kedelai menunjukan mental anarkis bisnis, karena akan menjerat pengusaha kecil yang sedang sekarat. Akhirnya kebijakan instan dengan pembebasan bea masuk kedelai menunjukan kekalahan telak dalam persaingan komodite kedelai. Semua sikap, reaksi dan argumen seperti itu sebagai bentuk mental yang tak berdaya dan lemah untuk berupaya.
Publik akan respek terhadap situasi krisis kedelai ini jika para pemimpin negara menunjukan kelasnya sebagai manajer handal. Kehandalan mereka bisa dilakukan dengan pemaparan yang berkualitas. Misalnya: Sejak lima tahun terakhir produksi nasional kedelai masih belum mencukupi kebutuhan nasional, tetapi upaya kita telah membuahkan hasil. Dari tahun ke tahun angka produksi telah meningkat secara signifikan, kecuali di tahun 2011 terjadi penurunan karena gagal panen akhibat curah hujan tinggi. Upaya pemerintah saat ini untuk membantu para petani berupa bantuan bibit unggul, subsidi pupuk dan pendampingan teknik produksi oleh para ahli. Langkah ini akan terus dikembangkan dengan optimalisasi lahan tidur yang berpotensi untuk ditanami kedelai. Apabila tidak ada cuaca ektrem, pada tahun 2014 produksi nasional akan mencukupi kebutuhan nasional. Selanjutnya pada tahun 2016 diperkirakan Indonesia akan mampu ekspor kedelai ke negara lain. Tata niaga kedelai sudah mengatur tingkat harga yang wajar. Bagi petani yang mengalami kendala silahkan datang dan berkoordinasi dengan dinas pertanian setempat. Jika ada kekurangan bibit dan pupuk secepatnya hubungi Koperasi Unit Desa (KUD) terdekat.  Pemaparan ini ternyata tidak terdengar satu pun dalam ucapan para pemimpin negeri ini, kasihan mereka seperti tempe bungkus yang digoreng. Hilangya bia masuk terbungkus untuk membantu industri tempe dan gurihnya dinikmati oleh importir. Harga kedelai bisa turun, namun pemasukan negara ada yang hilang dan puluhan trilyun devisa harus dikorbankan.
            Cara handal tersebut bukan sesuatu yang rumit dan sulit jika para pemimpin ada kemauan membangun swasembada kedelai. Hitungan secara makro ekonomi bisa dikalkulasi antara penghematan devisa dengan biaya dukungan (stimulisasi) kepada petani. Dampak makro ekonomi secara positif akan terjadi jika kebutuhan nasional kedelai mampu diproduksi oleh petani. Biaya distribusi kedelai akan efesien, keuntungan perdagangan tidak terpusat pada pemodal besar saja karena di sentra pertanian kedelai akan berkembang pedagang kedelai. Analisa dan perencanaan secara makro ekonomi ini sederhana sekali tetapi harap maklum kalau mereka tidak memiliki perhitungan untuk komodite kedelai kerena urusan komodite beras dan gula juga belum selesai. Strategi manajemen untuk ketahanan pangan dikembalikan ke logika pekerjaan masyarakat di setiap daerah. Di daerah yang memiliki lahan pertanian terbuka dan mayoritas penduduknya adalah petani, pemerintah jangan tanggung-tanggung memberikan stimulisasi kepada mereka. Selanjutnya lakukan pola manajemen koordinasi dari tingkat kementrian sampai ke tingkat kelompok tani. Keberanian memulai berada dipundak para pemangku jabatan tata kelola pangan dan kedelai, jadi kapan lagi kalau tidak sekarang?  Semoga mereka tidak tertempel mental tempe, biarlah tempe gurih itu tetap nikmat di lidah rakyat.
 
Add caption
*) Dosen Manajemen FE Universitas Surakarta dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi UNS.

 SOLOPOS.COM > Kolom > Mental Tempe Tata Kelola Kedelai


No comments:

Post a Comment